Pelatihan Sikap Mental

Pelatihan Sikap Mental
Pelatihan Sikap Mental di Perusahaan

Pendiri Suarahati Kudus

Sabtu, 06 April 2013

WAHAI MENTERI AGAMA RI, INI PROSEDUR PEMBONGKARAN GEDUNG GEREJA


WAHAI MENTERI AGAMA RI, INI PROSEDUR PEMBONGKARAN GEDUNG GEREJA

Berdasar pengalaman, ini prosedur pembongkaran Gereja (ini terjadi pada Gedung Gereja yang akan dan sementara dibangun serta Gedung Darurat yang dipakai beribadah, termasuk renovasi Gedung Gereja yang lama) antara lain,
  1. Jika mau membangun gedung gereja, maka Gereja (dhi. Panitia Pembangunan atau pengurus/majelis Gereja) harus mengurus surat sesuai dengan Peraturan PEMDA dan Peraturan Bersama Dua Menteri; ini adalah hal yang standar atau baku. Dua surat yang sangat penting, melebihi Kitab Suci untuk pembangunan Gedung Gereja yaitu IMB dan Izin Penggunaan Gedung

  2. Diawali dengan rekomendasi/izin warga sekitar rencana lokasi pembangunan gereja. Pada umumnya, berdasar pengalaman, gereja relatif mudah mendapat izin dari warga setempat/sekitar (minimal 70 KK, bahkan ada Gereja di Tg Priok dengan mudah mendapt izin warga hampir seribu KK)

  3. Setelah itu, Gereja mengajukan surat ke Lurah-Kelurahan (untuk mendapat rekomendasi agar di bawa ke Camat/Kecamatan, selanjutnya ke Walikota atau Bupati). Tapi, bukan sekedar itu; Gereja harus melengkapi dengan Copy tanda daftar Organisasi Gereja tingkat Nasional dan Lokal, Susunan Pengurus Gereja Tingkat Nasional dan Setempat, daftar Warga Jemaat (termasuk alamat lengkap), Keterangan Kepemilikan Tanah, dan lain sebagainya (yang kadang tebalnya mencapai 100 halaman)

  4. Pihak Kelurahan, tidak langsung memberi rekomendasi; ini bisa mencapai waktu sampai berbulan atau tahunan, baru ada balasan, itupun harus melalui proses negoisasi yang melelahkan. Jika proses yang lama ini terjadi, biasanya mulai muncul orang-orang bukan warga setempat, yang melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan gedung gereja (hebatnya, bagaimana dan dari mana mereka bisa tahu!?). Juga kadang muncul warga yang sudah menyetujui pendirian gereja, menarik kembali kesediaannya; artinya menolak; jika itu terjadi maka Gereja harus melakukan sosialisasi ulang

  5. Jika telah ada rekomendasi dari Lurah/Kelurahan, maka proses selanjutnya ada di Camat–Kecamatan. Prosedur dam rentang waktu pun hampir sama, membutuhkan masa yang berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Bersamaan dengan lamanya waktu tersebut, maka semakin terlihat ada rombongan orang yang melakukan penolakan terhadap pembangunan gedung gereja. Jika sudah ada gereja kecil atau darurat untuk beribadah pada setiap hari Minggu, maka akan muncul berbagai aksi-aksi provaktif; misalnya melempar atap gereja di saat ibadah/kebaktian, membuat bising dengan suara kendaraan, insiden di parkiran, membuang sampah di halaman gedung gereja, dan lain sebagainya

  6. Adakalanya, ketika menanti surat rekomendasi dari Camat/Kecamatan tersebut, ada semacam izin moral yang lisan, agar panitia pembangunan membangun; di sini seringkali pengurus Gereja (dalam ketulusan mereka), menerima dan melihat sebagai adanya etikad baik dari aparat dan kesediaan mereka memberi izin membangun gedung gereja. Dengan demikian mereka (pihak gereja) membangun (dengan pelan/bertahap) sampai menanti rekomendaisi dari camat atau IMB dari Walikota–Bupati. Tapi, rekomendasi dari Camat–Kecamatan tersebut bisa memakan waktu bertahun-tahun (apalagi jika ada pergantinan pejabat, maka surat-surat dari Kelurahan akan dimulai dari awal lagi)

  7. Seiring dengan rentang waktru yang lama itu, orang-orang yang menolak pembangunan–keberadaan Gedung Gereja, semakin bermunculan (umumnya ormas-ormas atas nama etnis dan agama yang bersifat radikal). Mereka melakukan demo, tekanan, protes, dan bahkan intimidasi terhadap warga gereja yang mau beribadah (termasuk ke/pada warga agar menolak adanya gereja)

  8. Jika sikon seperti diatas (7) terus menerus terjadi, maka pihak Kecamatan jadikan hal-hal tersebut sebagai alasan untuk menolak memberi rekomendasi agar Gereja mengurus IMB dan Surat Izin Penggunaan Gedung ke tingkat yang lebih tinggi (misalnya Walikota atau pun Bupati)

  9. Bisa juga, rekomendasi dari Camat-Kecamatan sudah ada, akan tetapi di tingkat Walikota–Bupati sampai bertahun-tahun (pada beberapa kasus hingga lebih dari 10 tahun, Gereja mengurus IMB dan Izin Penggunaan Gedung) tidak mengeluarkan surat tersebut. Sementara, pada rentang waktu tersebut, gedung gereja yang dibangun secara pelan-pelan–bertahap sudah jadi/selesei, bahkan telah digunakan sebagai /untuk kegiatan beribadah

  10. Pada sikon seperti itu, dari pihak Walikota–Kabupaten, bukan lagi melihat bahwa ada surat permohonan (dari Gereja untuk) mendapat IMB dan Izin Penggunaan Gedung, melainkan justru menanggapi sebagai pelanggaran peraturan Pemda

  11. Karena ada gedung yang dibangun tanpa izin maka harus disegel

  12. Jika sudah segel, maka dalam hitungan hari, akan dibongkar; dan ketika disegel (dan akan dibongkar), Pemda pun memberikan alasan klise  bahwa kehadiran dan pembangunan gedung Gereja telah meresahkan warga setempat dan juga tak ada izin)
Silahkan anda menilai sendiri, jika ada gedung gereja yang dibongkar, maka di mana letak kesalahannya yang esensinya!? pada gereja yang membangun tanpa izin atau di aparat Pemda yang sengaja menghambat dan kemudian merobohkannya!?
1364962767957906818

WAHAI MENTERI AGAMA RI, INI PROSEDUR TETAP INTOLERANSI pada WILAYAH-WILAYAH TERTENTU di NKRI

Ada kesamaan proses - prosedur - perencanaan - terstruktur pada semua peristiwa intoleran (yang diikuti dengan kekerasan dan kebrutalan) yang terjadi di Nusantara. Prosedur Tetap tersebut adalah
  1. Membangun solidaritas kelompok Islam garis keras melalui dakwah.  Sekalipun terlihat solid, sesungguhnya organisasi Islam garis keras hanyalah minoritas yang nyaring bersuara. Selebihnya adalah massa cair yang direkrut seketika atau diprovokasi agar ikut-mengikuti bersama mereka

  2. Solidaritas melalui dakwah instan. Memasang stiker dan spanduk penolakan, permusuhan. Setelah itu memperluas konstituensi dan dukungan publik dengan menyebarkan kebencian terhadap sasaran melalui spanduk penolakan dan bernada permusuhan. Selain sebagai sarana menghimpun dukungan publik, cara ini juga akan memberi legitimasi bagi mereka untuk bertindak. Pesan-pesan permusuhan tidak selalu atas nama organisasi Islam puritan, tapi bisa jadi tanpa nama, atau nama-nama yang diciptakan secara cepat dan mudah diingat publik

  3. Menggelar tabligh akbar dan membakar emosi umat. Road showmelalui pengajian dan tabligh akbar. Sejumlah kyai kondang dari Jakarta atau dari kota-kota lain biasanya diundang untuk bersama-sama membakar emosi umat. Materi dakwah selain dakwah murni, disisipkan juga pesan-pesan kebencian, disertai dengan argumen-argumen keagamaan yang ditafsir secara literal. Kegiatan tabligh akbar, selain menjadi sarana prakondisi yang berselang, biasanya juga dilakukan sebelum melakukan operasi

  4. Ancaman penghentian kegiatan ibadah. Berhasil menanamkan kebencian dibenak umat, kelompok Islam garis keras kemudian memberikan ultimatum dan ancaman penghentian aktivitas ibadah; ancaman ini disampaikan secara terbuka dengan alasan bahwa masyarakat resah

  5. Pemda berinisiatif memfasilitasi dialog. Prakondisi yang sudah dibangun kemudian memikat pemerintah daerah untuk memfasilitasi dialog antara organisasi Islam garis keras dengan kelompok-kelompok yang menjadi sasaran tembak. Dalam dialog ini selain jumlah massa yang tidak imbang, karena selain aparat pemerintah daerah, dialog selalu melibatkan MUI setempat, Pejabat Departemen Agama, Tokoh masyarakat plus organisasi Islam garis keras itu sendiri. Dialog tidak pernah menemukan jalan keluar kecuali tekanan berlapis; jika terkait rumah ibadah), maka atas nama ketertiban dan keamanan, pemerintah daerah akan mengikuti kehendak kelompok Islam garis keras

  6. Tekanan melalui surat pernyataan. Ujung dari proses-proses dialog adalah surat pernyataan di bawah tekanan. Surat pernyataan berisi ‘kesediaan’ untuk tidak melakukan aktivitas ibadah secara terbuka, ‘kesediaan’ membongkar bangunan yang ditentang

  7. Muspida mengeluarkan SKB atau produk kesepakatan. Atas nama ketertiban dan keamanan, pemerintah daerah bersama jajaran Muspida mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang berisi larangan aktivitas ibadah, larangan penyebaran, dan seterusnya

  8. (jika tidak berhenti maka terjadi) Penyerangan oleh massa. Setelah semua tahapan dilalui, organisasi Islam garis keras ini mendapati legitimasi untuk melakukan tindakan eksekusi - bertindak atas nama pemrentah, atas nama surat pernyataan, skb, fatwa, dan lain sebagainya

  9. Bupati melalui satpol PP melakukan penyegelan. Satpol PP bersama organisasi Islam garis keras, mewakili (dan atas nama) pemerintah daerah dan berbekal Surat Perintah dari Bupati, kemudian melakukan penyegelan

  10. Pembiaran oleh Polisi. Setelah terjadi penyegelan yang tidak jarang disertai dengan kekerasan, atas nama penegakan hukum Polisi justru turut serta bersama Satpol PP melakukan penyegelan. Pada saat yang bersamaan Polisi juga membiarkan anarkisme massa yang melakukan pengrusakan. Jika pun Polisi melakukan penjagaan dan perlindungan, selalu berdalih bahwa aparat yang ada tidak mencukupi untuk menghalau massa. Di sinilah tindakan aktif polisi dan aparat pemda bisa dikualifikasi melakukan pelanggaran HAM karena turut ser
1364219577330177685
koleksi Indonesia Hari Ini Dalam Kata-kata/
 
Siapa yang menilai tulisan ini?
    2

Edy Chandr...

Menarik

Adie Sachs

Aktual
KOMENTAR BERDASARKAN :

    3 April 2013 23:06:31

    Minister: Christians bring discrimination on themselves
    Religious Affairs Minister Suryadharma Ali blamed Christians for the closure of some churches in the country, saying that they have politicized an issue that is purely administrative in nature.
    Suryadharma said that Christians in the country are not the only ones who had problems getting permits to build places of worship, but they got more attention simply because they talked to the press more.
    The controversial minister said that Muslims in several regions where they are members of a minority, such as in Bali, North Sulawesi, and East Nusa Tenggara, have met the same challenges when trying to get permits to build mosques.
    “But they don’t talk to the press. They also don’t protest or perform prayers in front of the Presidential Palace. The requirement to obtain such a permit is only administrative, there is no need to turn it into a political issue,” Suryadharma said.
    Suryadharma was referring to members of the Indonesian Christian Church (GKI) Yasmin from Bogor, West Java, and the Batak Christian Protestant Church (HKBP) Filadelfia of Bekasi, also in West Java, who have been conducting their Sunday services in front of the Presidential Palace in the past two years because local governments have sealed off their churches due to building permit disputes.
    HKBP Filadelfia has been involved in a building permit dispute with local residents at Jejalen Jaya village for years as the locals refused to allow a church to be built in their neighborhood.
    Representatives of the HKBP church said that they had secured permits from local government to build their church in the village, but, in 2011, the Bandung State Administrative Court in West Java overturned a ruling by the Bekasi administration which had given the go-ahead for the construction of the church.
    The locals have prevented HKBP members from conducting Sunday services at the church since then.
    The Bogor administration has denied a request for a building permit for GKI Yasmin, despite a ruling by the Supreme Court that upheld the rights of the congregation to open a place of worship in the area.
    Suryadharma, also chairman of Muslim-based United Development Party (PPP), maintained that the 2006 joint ministerial decree, which regulates the construction of all places of worship of all religions in the country, including churches, has strict requirements simply to prevent social unrest.
    The decree, which was issued by the religious affairs minister and the home minister, requires, among other things, that a congregation must have at least 90 members and have support from at least 60 locals in the vicinity of the place of worship.
    “I’m very disappointed with the minister. He really doesn’t have any idea of the trouble we will have to deal with because of the decree,” Rev. Palti Panjaitan from HKBP Filadelfia said.
    Separately, Bona Sigalingging of GKI Yasmin said that Suryadharma’s statement indicated the government had indirectly legitimized religious discrimination by the majority.
    “The minister should have not applauded the action of those who have chosen silence after failing to get permits for their house of worship. He should have urged all government agencies to grant the people their rights to worship.”
    http://www.thejakartapost.com/news/2013/04/02/minister-christians-bring-discrimination-themselves.html#.UVwhHdH1MhM.facebook

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

    4 April 2013 01:55:49

    Menterinya lagi makan bisikan atau memang nggak pernah sekolah ya??
    Di NTT dan Sulut dilarang bangun Masjid itu benar, tapi dilarang bangun di setiap rt/rw supaya tidak seperti di Jawa.
    Kalau di Jawa lihat aja, setiap rt/rw ada Masjid, minimal Mushalla, jadi ibaratnya masjid/musholla yang “mendatangi” umat, bukan umat yang datang ke Masjid.
    Di Arab Saudi aja, pembangunan Masjid sangat terbatas dan tidak asal.
    Thx oppa..

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

    4 April 2013 14:05:33

    Saya telah MENANTANG menteri itu untuk DEBAT PUBLIK melalui para jongosnya

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

    4 April 2013 14:23:14

    http://politik.kompasiana.com/2013/04/04/tanggapan-publik-terhadap-pernyataan-surayadharma-ali-547853.html
    Tanggapan Publik Terhadap Pernyataan Surayadharma Ali
    Dewa Agustinus: Menteri agama goblok, otak …. tinggal aja di kebun …. Aku org NTT, dan anda tidak boleh seenaknya mengatakan bahwa masjid susah di bangun di sana, karena org seperti anda harus belajar banyak arti toleransi kehidupan beragama dari orang org miskin seperti kami, karena walaupun kami orang orang bodoh, tapi kami lebih mengerti arti sebuah toleransi, jika dibandingkan dengan otak anda.
    Kamu perlu tau bahwa ketika sebuah masjid di bangun di daerah kami, kami anak anak perantau akan patungan untuk itu pembangunan itu,tanpa memandang agama.
    Tanyakan kepada pemerintah jawa barat, berapa banyak gereja yg telah mereka hancurkan? tanyakan juga kepada anak anak FLOBAMORA, berapa banyak masjid yg telah mereka bangun…

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

    3 April 2013 23:09:26

    makanya tempo hari istana negara kebakar bertanda pemimpin negeri ini udah semau gw

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

    4 April 2013 08:11:11

    @budi van. ah, itu hanya prasangka sampean aja yang baik.

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

    3 April 2013 23:18:10

    sosiopat

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

    4 April 2013 08:11:43

    ah nggak juga mam.

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

    4 April 2013 17:33:44

    Belasan tahun jadi karyawan Hero Supermarket tiba-tiba ngurusi hubungan antar agama satu negara ya begini ini jadinya. Hubungan antar agama di Indonesia jauh lebih baik sebelum SDA jadi menteri agama.

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

    4 April 2013 17:43:36

    MENTAL hamba, jadi menteri maka seperti itulah

    Laporkan Komentar

    0

    Balas

Tulis Tanggapan Anda
Guest User

<a href='http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a37da309&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=345&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a37da309' border='0' alt='' /></a>

TRENDING ARTICLES

Keterlaluan, Di Mana Merah Putih?? …

Irma Nuryanti| 7 jam yang lalu

Masyarakat Dukung Kopassus, Tanya Kenapa? …

Irin Hidayat| 10 jam yang lalu

Setangkai Bunga untuk Kopassus …

Tengku Bintang| 12 jam yang lalu

Kejujuran TNI dan Pesan untuk Preman …

M. Rasyid Nur| 14 jam yang lalu

Inikah Pasukan Khusus? …

Jonny Hutahaean| 14 jam yang lalu

Subscribe and Follow Kompasiana: