Pelatihan Sikap Mental

Pelatihan Sikap Mental
Pelatihan Sikap Mental di Perusahaan

Pendiri Suarahati Kudus

Kamis, 14 Juli 2011

GEMPA ? TUHAN MARAH ?????

GEMPA ? TUHAN MARAH ?

Ada gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir bandang, 
badai, topan.

Banyak yang mengatakan, "Tuhan marah! Ia geram, dan murka!"

Benarkah memang Tuhan marah?

Lalu begitu murkanya Ia, sehingga memusnahkan makhluk ciptaan-Nya sendiri dengan format "bencana alam". Rasanya kok pikiran seperti ini terlalu berpola?

Jika kita marah, mungkin nafsu mencelakakan akan mencuat. Darah akan mendidih sehingga dapat terluap begitu saja tanpa memikirkan akibat. Tetapi Tuhan? Samakah Ia dengan rumusan sifat manusia yang diciptakan-Nya? Walaupun kita memang adalah gambaran Allah, tetapi satu prinsip yang harus diingat tentang bedanya Tuhan dan manusia adalah LOGIKA BERPIKIR DAN BERPERASAAN.

Perspektif Tuhan yang usianya lebih lama dari usia bumi, melihat segalanya dari dulu hingga masa yang akan datang. Bisa jadi ada beberapa kemarahan-Nya yang tertumpahkan seperti zaman air bah Nabi Nuh, pemusnahan Sodom dan Gomora. Hal itu pun terjadi setelah manusia diberi peringatan. Tetapi selebihnya, apakah selalu Ia marah dan berdampak kepada kemusnahan manusia?

Bagaimana jika memang sudah semestinya alam bergerak? Bumi memperbaharui diri? Korban memang jatuh zaman ini, tetapi bumi menjadi lebih siap untuk dihuni oleh penerus di zaman mendatang. Entahlah? Mungkin memang hanya Tuhan yang berdaulat mengatur semua kejadian.

Ada gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir bandang, badai, topan.

Banyak yang mengatakan, "Negara ini sudah berdosa besar!"

Duh...! Ini lagi!

Kalau dibuat pooling tentang negara bejat, mungkin penduduk Indonesia kebanyakan akan memilih negara Super Power, Amerika. Harusnya kejadian yang jelek-jelek menimpa negara yang seringkali dituding berdosa besar bukan? Tetapi pernyataan dosa besar ternyata menimpa negara Indonesia yang sejak tsunami di Aceh sampai hari ini. Benarkah ukuran dosa menjadi landasan terjadinya bencana alam? Bukankah tanpa bencana alam pun, manusia juga memang sudah ditakdirkan untuk mangkat?

Ada gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir bandang, badai, topan.

Banyak yang mengatakan, "Antisipasi kurang! Sudah diperingatkan, tetapi lamban reaksi!"

Ini mungkin masih dapat diterima dengan logika. Alam yang diatur oleh Yang Menciptakan alam biasanya sudah menunjukkan tanda sebelum bereaksi. Biasanya binatang-binatang malah lebih peka daripada manusia tentang peringatan dari alam.

Mungkin betul ada kesalahan manusia yang ikut andil di dalam bencana alam. Ada andil manusia yang merusak harmonisasi pengaturan Dari Atas. Misalnya mendirikan bangunan di tanah yang rawan gempa, rawan longsor. Atau sudah tahu kondisi pulau rawan gempa tetapi tidak membuat bangunan yang kebanyakan berasal dari unsur kayu yang ramah gempa.

Terlepas dari antisipasi, itu tetaplah antisipasi. Seperti layaknya kita mengantisipasi kendaraan memiliki kondisi layak jalan, namun bila ada faktor luar, tetap saja kita tidak dapat menghindari segala keadaan force majeur yang di luar antisipasi.

Lalu?

Kejadian yang sudah terjadi tidak dapat disesali. Terlihat begitu rapuhnya bumi dan isinya, entah memang negara itu ber-Tuhan atau tidak ber-Tuhan. Semuanya adalah pengujian terhadap hidup manusia di dunia yang tidak abadi ini.

Namun bila kita tidak egois, ada baiknya kita melihat sisi lain akibatdari bencana alam. Semua kenyataan hidup yang harus kita sadari di manabila ada bencana alam maka:

Pembaharuan bumi

Ada pengurangan populasi bumi secara besar-besaran yang di beberapa lokasi secara geografis sudah overload menampung berat. Pembaharuan bumi yang mengakibatkan korban jiwa namun juga ke depannya menguntungkan bagi mereka yang kembali mengelolanya. Lokasi terkena bencana umumnya menjadi lahan baru yang baik dibandingkan lahan yang sudah padat pemukiman yang mandek.

Siklus manusia dan alam yang selalu bergantian memang sudah terjadi sejak zaman purba. Bayangkan bila tidak ada kematian, tidak ada keruntuhan gedung. Jangan-jangan bumi memang sudah penuh dengan arsitektur macam-macam. Kiamat-kiamat kecil itu seakan membagi peradaban di bumi.

Memberikan kesempatan kepada mereka yang bukan korban

Manusia yang pada hakikatnya juga adalah makhluk sosial disentil kemanusiaannya serta kebejatannya. Ada yang memang ikhlas membantu. Tidak memandang ras, suku dan golongan, semua mendukung secara moril dan spirituil. Perputaran nasib dapat terjadi pada manusia manapun, jadi di saat jaya memang berhak serta berkewajiban membagi kepada mereka yang sengsara. Kejadian bencana alam seakan memberi kesempatan kepada manusia untuk berbuat baik jika mau.

Banyak juga yang memperoleh kesempatan emas. Ada perusahaan transportasi yang tiba-tiba untung besar akibat volume penerbangan dadakan dari para keluarga korban (keterlaluan tapi nyata!). Ada orang-orang yang menjadi kaya mendadak akibat menjarah barang korban reruntuhan. Walaupun menjarah tidak halal, tetapi kesempatan terbuka sangat lebar.

Ingat saja produk ponsel yang booming tatkala terjadi kerusuhan tahun 1998. Di saat pedagang ponsel ketakutan akibat ancaman terhadap usaha mereka, namun dihibur oleh peningkatan volume penjualan sesudahnya. Properti setelah kerusuhan dan kebangkrutan juga meningkat pesat dibandingkan sebelumnya.

Kesempatan menata ulang kehidupan

Korban yang selamat dari bencana pastinya merasakan dukacita yang sangat dalam. Namun demikian pada akhirnya kepasrahan pun harus dilakukan. Bagaimana pun kesempatan untuk hidup adalah kesempatan yang diberikan oleh Yang Kuasa. Entah meneruskan keturunankah, melanjutkan bisnis keluargakah, atau bahkan bertobat.

Bagi kita yang miris melihat manusia hilang nyawa begitu saja juga seakan ditegur bahwa semua yang kita miliki di dunia ini saat ini pun tidak kekal. Harta, jabatan, keluarga akan lenyap begitu saja jika memang saatnya harus dipanggil oleh Tuhan. Kita hanya berharap apa yang telah kita tinggalkan bukan menjadi hal yang menyusahkan orang yang kita tinggalkan.

Di saat seperti ini, mungkin kita akan merenung bahwa apa yang kita usahakan di dunia tidak akan kita bawa ke alam baka. Jadi, sudah siapkah bekal kita untuk dunia keabadian? Atau kita adalah golongan yang pernah siap dan saat ini kita lagi terlena sehingga terseret lagi ke arus yang menjauhkan kita dari Sang Pencipta? Kali ini kita mempertimbangkan mana prioritas yang sebaiknya dimiliki manusia, sesuatu yang sementara, atau sesuatu yang kekal?

Jadi, mungkin kita tidak harus tahu dan menduga-duga alasan Tuhan terhadap kejadian di dunia ini. Ia yang sudah mewanti-wantikan agar kita senantiasa bersiap menghadapi segala keadaan, bahkan siap untuk menghadapi kematian. Seruan "Bertobatlah, sebab kerajaan Allah sudah dekat" merupakan ajakan untuk sadar bahwa hidup manusia hanya selangkah saja menuju kematian bila Ia berkehendak. Biarlah rahasia hanya milik Dia, dan kita.

Saya coba untuk mengutip lagu dari Kelompok Vokal Yerikho,

Bagai musafir dalam dunia

Aku berjalan dengan pasti

Ke negeri baka, Tuhan memimpin

Tak dibiarkan-Nya sendiri

Ya, manusia sejatinya adalah musafir dalam perjalanan hidupnya.

Bila harus menuju jalan kiri, maka melangkahlah ke kiri dan berkembanglah.

Bila harus menuju jalan ke kanan, maka melangkahlah ke kanan dan bantulah mereka yang berkesusahan

Bila harus menuju jalan ke bawah, maka melangkahlah ke bawah dan jadilah kuat menghadapi deraan serta cobaan.

Bila harus menuju jalan ke atas, maka melangkahlah ke atas, dan lihatlah Tuhanmu yang sudah merindukan kedatangan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar